Perception Point
Anggaplah kita sedang makan di restoran, memesan beberapa menu. Setelah makan, biasanya ada komentar bagaimana rasa masakannya. Apakah enak, atau tidak. Namun sebelum makanan datang, ada beberapa momen yang terjadi. Momennya kurang lebih sebagai berikut:
- Datang dengan kendaraan dan restoran sudah kelihatan dari jauh
- Parkir di parkiran restoran
- Masuk ke restoran menuju ke meja makan
- Duduk di kursi
- Mendapatkan menu
- Memesan makanan
- Menunggu makanan datang
- Makan
Ada banyak sekali momen yang terjadi. Mulai dari melihat restoran dari jauh, sampai mencoba makanan yang dihidangkan. Masing-masing momen tersebut namanya, “Perception Point”.
Di masing-masing momen bisa muncul kesan tersendiri. Misalnya saat melihat plang nama restoran dari jauh, sudah mulai ada persepsi yang muncul di kepala. Misalnya, “Sepertinya restorannya sudah tua. Plangnya saja sudah pudarâ€.
Saat parkir di parkiran, muncul kesan dan persepsi berikutnya, “Sepertinya restoran ini cukup menyenangkan. Parkirnya luas dan rapi. Banyak tanaman pulaâ€. Semua persepsi ini muncul secara otomatis, tanpa bisa dicegah.
Kadang pendapat kita bagus, kadang pendapat sama sekali gak bagus. Kira-kira butuh berapa pendapat buruk  atau bad peception point sebelum customer lari? Jawaban yang mengerikan dan jujur, “Hanya satu“.
Yang lebih serunya, pengalaman nggak enak yang cuma satu buah itu, bisa dialami kapan saja. Bisa dialami di titik mana saja!!
Bisa saja kita melihat iklan bahwa ada restoran baru yang bagus. Maka kita lihat websitenya, ternyata photo-photo menunya bagus. Websitenya juga rapi. Itu namanya “Good Perception Point”.
Setelah tertarik, kita telepon untuk reservasi tempat. Namun yang angkat telepon ternyata orangnya kasar! Sama sekali tidak menyenangkan. Lalu kita memutuskan untuk tidak jadi makan di situ. Itu namanya “Bad Perception Pointâ€.
Nah simpel sekali. Jadi perception point itu ada “good†dan “badâ€.
Ada fakta yang menyakitkan tentang “Bad Perception Pointâ€. Anggaplah tadi anda menelpon untuk reservasi. Hasilnya malah sakit hati dan tidak jadi mau makan di situ. Padahal hanya gara-gara satu buah telepon saja. Hanya karena seorang staff yang mungkin sedang galau hatinya.
Namun karyawan lain yang bekerja di situ, tidak pernah tau bahwa ada customer yang sakit hati dan kabur hanya gara-gara satu orang yang menjawab telepon seenaknya. Padahal ada begitu banyak orang yang berjuang untuk keluarganya di situ. Ada para koki yang berjuang untuk anak dan istrinya. Ada waiter yang berjuang untuk keluarganya. Ada tukang parkir yang hidup dari mobil-mobil yang singgah makan ke situ.
Semuanya tidak dapat kesempatan sama sekali untuk memperbaiki service. Seluruh keluarga mereka kehilangan rezeki dari customer tersebut. Biasanya ini juga bukan hanya terjadi pada 1 customer, namun banyak customer.
Ini yang namanya gara-gara nilai setitik, rusak banyak keluarga! Hehehe.
Ada 2 cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi service yang tidak baik. Cara pertama adalah terus-menerus mengawasi / mengontrol semua staff dalam bekerja. Yang artinya anda sendiri tidak akan bisa kerja untuk mengembangkan restoran. Energi anda habis hanya untuk mengawasi para staff saja.
Cara kedua yang jauh lebih baik adalah, membangun budaya service. Sehingga semua orang SADAR akan pentingnya service. Walaupun kita tidak mengawasi, tetap saja seluruh karyawan akan berusaha memberikan yang terbaik. Karena mereka SADAR dan TAU cara memberikan service terbaik.
Nah butuh berapa “Good Perception Point” untuk menyenangkan customer? Kabar baiknya, juga hanya satu. Bila makanan anda menyenangkan, restorannya bersih dan nyaman, servicenya bagus, maka anda akan senang dan mau kembali lagi. Artinya setiap staff harus secara aktif terus memberikan excellent service atau pelayanan prima.
Namun bagaimana mau memberikan service excellence atau pelayanan prima, kalau pelayanan prima itu sendiri tidak pernah didefinisikan seperti apa? Jangan sampai karena memberikan service bagus ke customer, malah dimarahi oleh atasan.
Ini sering terjadi  karena perbedaan pendapat tentang service yang baik harusnya seperti apa. Karena service yang bagus menurut bos bisa sangat berbeda dengan service yang bagus menurut tim. Bahkan antar tim saja ada macam-macam pendapat tentang service yang bagus.
Kalau kita tidak pernah menerapkan standard tentang masing-masing titik perception point, maka service excellence tidak akan pernah terjadi. Standard ini harus dikomunikasikan bukan hanya lewat mulut, namun juga secara tertulis.
Kalau tidak, pasti service jadi tidak konsisten. Apa mau terus-menerus mau kehilangan customer lama dan cari customer baru lagi? Mau sampai kapan seperti itu? Betul?
Jauh lebih enak dan lebih murah mempertahankan customer yang sudah ada kan?
Sangat penting untuk meletakkan landasan service yang kuat di tempat kita bekerja.
Salam DAHSYAT!
Anda boleh menggunakan artikel ini di newsletter, website atau publikasi, dengan syarat tetap melampirkan kalimat lengkap di bawah dengan link aktif ke website:
Copyright, Hendrik Ronald. Digunakan dengan izin. Hendrik Ronald adalah Trainer dan Coach Service Excellence. Untuk mendapatkan pelatihan dan artikel lainnya, silakan kunjungi www.HendrikRonald.com