15.000 VS 30.000, Mana Yang Lebih Laris?
Ah, saat liburan tentu saja kadang-kadang saya jalan-jalan ke mal dengan anak-anak. Di sebuah mal di kota saya, ada fenomena menarik. Pas di gerbang utamanya, ada dua restoran fast food yang langsung berhadap-hadapan. Benar-benar pas di samping gerbang utama. Satu di kanan, satunya di kiri.
Yang lebih menariknya, sudah tau berhadap-hadapan, resto di sebelah kiri dengan pedenya pasang promo yang mahal. Paketnya seharga Rp.30.000. Paket yang murah justru diletak di bagian bawah. Seolah-olah gak pengen pembeli tau bahwa mereka juga punya paket yang murah. Paket yang murah justru diumpetin.
Resto di sebelah kanan tentu saja memakai cara yang beda banget. Mereka promo paket cuma Rp.15.000. Harganya sudah bisa saingan dengan nasi padang deh! Paket yang mahal-mahal diletakin di bagian bawah, sehingga orang-orang akan merasa bahwa si resto di sebelah kanan ini murah banget!!
Keduanya adalah jenis resto yang sama, dengan fasilitas yang sama pula!
Ini seolah-olah membenarkan pertanyaan yang suka diajukan ke saya. Pertanyaan yang ditanyakan di banyak daerah,  “Pak Ronald, kalau di daerah kami itu, bapak tau sendiri deh. Price sensitive banget. Harganya naik dikit aja orang langsung kabur.†Pertanyaan yang selalu saya jawab dengan, “Oh ya?â€
Fenomena yang sama terjadi juga dengan dunia taxi di Jakarta. Taxi di Jakarta itu berserakan di mana-mana. Karena saking kerasnya persaingan, banyak dari mereka yang langsung mau mencoba ngertiin customer. Customer yang katanya price sensitive.
Mereka pasang sticker, “Tarif Bawahâ€. Dengan harapan customer akan bahagia dan berbondong-bondong langsung naik. Apa betul begitu? Si raja taxi Jakarta malah seolah tidak perduli. Si biru ini tetap saja melenggang santai dengan harganya. Anehnya, mereka malah tetap diburu penumpang! Yang pasang “Tarif Bawah”? Anda tau sendiri apa yang terjadi.
Kembali ke resto seafood di atas. Ternyata si raja paket murah yang cuma jual 15.000 itu, isinya kosong melompong. Gak ada yang makan di situ. Sedangkan si mahal malah ramai gak karu-karuan. Jadi apa strategi harus jual murah itu sebenarnya betul?
Apa benar customer itu sangat price sensitive? Apa benar untuk bersaing itu harus perang harga? Banyak manager ketika mempunyai barang yang mirip dengan yang di pasaran, mereka merasa tidak ada pilihan lain. Mereka merasa harga murah adalah tools marketing terbaik. Mereka kudu, wajib, gak ada pilihan lain, harus jual lebih murah!
Padahal saat kita potong harga, kita juga harus potong cost. Kalau sudah potong cost, artinya eksekusi kita di banyak bidang jadi melemah. Tentu saja kalau kita masih memilih jalan ini, jalan yang diambil oleh orang kebanyakan…. Nasib kita akan seperti orang kebanyakan. Betul?
Padahal ada jalan lain. Ada jalan yang ditempuh para raja. Mereka menempuh jalan membangun budaya yang kuat. Budaya service yang kuat. Mereka melenggang santai menjual janji dan reputasi. Janji akan product yang bagus dan service yang excellent.
Namun itu semua tidak akan pernah tercapai bila anda mau mengambil jalan pintas, malah memilih perang harga.
Sekarang pertanyaannya, maukah anda membangun budaya?
Salam Dahsyat!!
Anda boleh menggunakan artikel ini di newsletter, website atau publikasi, dengan syarat tetap melampirkan kalimat lengkap di bawah dengan link aktif ke website:
Copyright, Hendrik Ronald. Digunakan dengan izin. Hendrik Ronald adalah Trainer dan Coach Service Excellence. Untuk mendapatkan pelatihan dan artikel lainnya, silakan kunjungi www.HendrikRonald.com